Sabtu, 22 Juni 2013

Kepada Si(Apa) Kita Jatuh Cinta?


Judul di atas sengaja gue bikin begitu, yang kalau dijabarin maksudnya adalah

‘Kita jatuh cinta kepada siapa, atau kepada apa sih sebenarnya?’

Hm.. Ngomonginnya cinta. Dari dulu juga ga selesai-selesai. Teknologi makin ke sini makin canggih dan sudah berhasil menyederhanakan berbagai tugas manusia, kecuali tugas manusia soal cinta. Untuk yang satu itu masih juga belum sederhana.

Ngomong-ngomong nih ya soal perkara jatuh cintanya manusia (Cinta di sini yang gue maksud kepada pasangan ya, atau calon pasangan deh, atau orang yang diharapkan jadi pasangan tapi dianya ga nyadar-nyadar juga gapapa deh), berdasarkan apa yang gue perhatiin, dan rasain sih (pffft), kayaknya ga semua orang deh cukup beruntung untuk benar-benar jatuh cinta karena dia memang jatuh cinta. Kok jadi ribet ya.

Langsung aja kali ya ke maksudnya apa.

Ada orang yang jatuh cinta karena mencari jalan keluar. Udah lama jomblo, kesepian, dan yaaa siapa sih di dunia ini yang mau kesepian, kemudian orang ini datang, memberikan solusi atas rasa sepi lo. Yaudah deh. Kita jatuh cinta kepada kesepian kita yang akhirnya selesai, bukan kepada orangnya.
Ada orang yang jatuh cinta karena ‘emang-udah-waktunya’. Mungkin ini akan banyak terjadi ke orang-orang yang memasuki usia nikah kali ya, temen-temen udah pada berkeluarga, bahkan ada yang udah hamil anak ke dua, diri sendiri masih single. Ada orang yang keliatannya cocok dan ‘menjanjikan’, ya kenapa enggak? Kita jatuh cinta kepada jadwal, bukan kepada orangnya.

Ada juga yang jatuh cinta karena pesona. Misalnya, dokter masih muda, udah ambil spesialisasi, kemudian wajahnya kebetulan ganteng, badannya ya sedeng deh, dan sayang sama mamanya. Terus gue tanya, cewe mana siapa yang ga mau coba? Atau kalo cewe (biar adil), muka cantik, badan pas, kerja di bidang creative untuk majalah fashion ibukota, yang bisa dipastikan dia modis dan up-to-date sama hal yang begitu-begitu, orangnya ga ribet dan cerewet, dan jago masak. Cowo mana yang mau nolak? Kita jatuh cinta kepada bayang-bayang kita terhadap pasangan yang sempurna, bukan orangnya.

Ada juga yang jatuh cinta karena obat. Jadian udah 6 tahun, keluarga pacar udah kayak keluarga sendiri, udah curhat-curhat lucu sama mamanya, udah nemenin papanya ke bengkel, udah nyalon bareng sama adeknya (atau kalo cowo ya udah main futsal sama adeknya cewenya), eh putus. Terus ada orang yang kita pikir bisa menjadi obat atas sakit yang kita rasa. Jadi kita jatuh cinta karena kesembuhan yang kita rasain, bukan dengan orangnya.
Jadi ya gitu, yang gue bilang di awal, ga semua orang cukup beruntung untuk benar-benar jatuh cinta kepada orang lain, kepada siapa, bukan kepada apa. Hmm…

Gue sendiri gimana ya.

By : @flauntleroy

KEBETULAN



Di dunia ini, kalian percaya akan kebetulan?

Gue, kebetulan, enggak.
Gue yakin, kita dipertemukan dengan seseorang — yang entah akan berlangsung lama atau sebentar– pasti ada alasannya. Kalau kita runut, kejadian-kejadian ‘ajaib’ pasti pasti panjang ceritanya. Pasti ada pikiran-pikiran yang bermain di kepala kita.
“coba kalo tadi gue gini ya, coba kalo gue tadi ga gitu ya.”
Ada banyak alasan suci kenapa Tuhan mempertemukan kita dengan orang-orang yang kita punya sekarang. Salah satunya adalah, karena kita tidak bisa membuat kenangan manis jika sendirian, lalu tersenyum malu-malu kepada barang.

Tapi sayang, Tuhan enggak selamanya menyediakan waktu yang panjang dan cerita lanjutan. Kadang, Dia hanya menciptakan ruang dimana yang bersebrangan tiba-tiba bertatapan, berulang-ulang. Selanjutnya? Harus mereka yang usaha mati-matian. Apabila keberanian mengiyakan, cerita berikutnya bisa kita terka. Namun, jika kita hanya duduk, diam, dan tidak kemana-mana, hingga waktu berlalu, kita hanya akan berkata.

“ah cuma kebetulan”

Ternyata kebetulan adalah bentuk pengampunan, bagi mereka yang tidak punya keberanian.
Semesta adalah pendengar yang baik, pengamin terhebat. Sering gue mendengar cerita, ketika seseorang mengharapkan sesuatu yang benar-benar dari lubuk hatinya, hal tersebut entah dari mana terwujudkan. Dan kita dengan lancangnya berkata.

“wah kebetulan banget”

Ternyata kebetulan adalah pengganti rasa syukur yang terlupakan.
Pernah ingin pergi ke suatu tempat asing, dan tiba-tiba teman menawarkan tempat bermalam? Atau ingin mencari pekerjaan, lalu teman beri kemudahan? Atau bertemu tiba-tiba dengan orang-orang sepemikiran, yang sebelumnya belum pernah kalian temukan lalu berbincang tentang semua hal yang kalian tau?

Ternyata kebetulan adalah kesempatan.
Jadi, kebetulan itu enggak ada.. yang ada, adalah skenario manis buatan Tuhan, yang berhasil diikuti oleh umatnya.. gitu lho..

by : @flauntleroy

Harus Dari Mana Kumulai Kata





Entah harus dari mana kumulai kata pembuka hatiku. Setiap kali aku bertemu denganmu, aku selalu saja seperti terhipnotis, kamu membuatku lupa akan segalanya. Wajahmu selalu saja hadir dan menimbulkan akan rasa lupa yang membingungkan pada wajah-wajah wanita lain yang pernah kucintai sebelumnya, begitu kuatnya.

Aku tak pernah tahu dari jurusan mana kamu datang. Tiba-tiba kamu hadir begitu saja, membawa keremangan takdirku. Kamu membekap hatiku dalam kebimbangan cinta—tanpa arah, tanpa tujuan pasti, tapi aku suka. Entah kamu anugerah ataukah mungkin malah penderitaanku.

Aku ingat ketika pertama kali mengenalmu. Perpustakaan adalah kata kuncinya. Entah kenapa aku selalu memilih meja dan kursi yang sama demi membaca buku, mungkin karena tata letaknya yang dekat dengan jendela hingga aku bisa merasakan sepoi angin membelaiku. Saat itu kutemukan sebuah buku agenda di atas meja tempat biasanya aku membaca buku-buku perpustakaan. Kubuka lembaran pertama buku agenda itu. Nama dan nomor handphone pemiliknya tertulis jelas pada lembaran pertama. Dari situlah akhirnya aku mengenalmu—kamu adalah pemilik buku agenda itu.

Paling tidak seminggu dua kali kita selalu menyempatkan diri untuk bertemu di perpustakaan, di meja yang sama. Kita selalu membahas bacaan yang sama, sajak yang sama, novel yang sama, filsafat yang sama. Tapi kita tidak pernah membahas tentang cinta yang sama.

Padahal ingin sekali aku mendongengkan tentang cerita kerajaan hatiku padamu. Ingin sekali aku berlutut didepanmu dan meneriakkan yel-yel di perpustakaan ini ”Aku cinta padamu Laras, aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap tenang’ yang tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan penjaga perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan suaranya yang seperti petir menggelegar itu.

Namun mulutku selalu saja terkunci, lidahku kelu. Entah kenapa tubuhku selalu bergetar, menggigil dalam euforia dan ketakutan bercampur baur. Ungkapan hatiku selalu saja terhalang dengan kepengecutanku. Ataukah karena aku takut kamu tolak?

Ataukah karena aku tak berhasrat untuk menyatakan cinta? Karena aku sering merasa seolah-olah jiwaku, dalam dunia kehidupan khayalku, berdekatan sangat erat denganmu, jiwaku dan jiwamu dengan esensi dan substansi yang sama, telah ditakdirkan untuk bersama, dan itu telah cukup bagiku — apakah aku seorang pecinta yang bodoh?

Hari itu di tempat biasa kita bertemu, kamu menyodorkan potret seorang lelaki kepadaku. Ah, hatiku serasa dilandai badai. Dia tampan, katamu. Tapi aku hanya diam membisu kelu tak berbahasa dalam kata. Kutatap potret itu, entah kenapa hatiku sepertinya sedih, tapi disisi lain aku bahagia. Sedih karena teriris perih ngilu pilu disayat sembilu luka cinta. Dan bahagia jika kamu memang telah menemukan kebahagian bersama lelaki pilihanmu.

Kukembalikan potret itu ke dalam tanganmu, kuberikan gurat senyum paksa. Lantas kamu menyimpannya kembali kedalam dompetmu, kusimpan pula lembaran hatiku jauh dalam almari angan-angan.

”Gimana tampan kan?” tanyamu lagi. Rupanya kamu seorang gadis yang butuh penegasan. Aku hanya menjawab dengan anggukan setengah terpaksa saja.

”Namanya Raka. Kemarin dia menyatakan cintanya kepadaku. Dan aku menerimanya.”ucapmu.

”Hmmm…bagus itu.”komentarku datar. Bibirku tersungging meski hatiku tersinggung pedih sakit. Tapi aku tidak boleh kelihatan sedih didepanmu. Aku harus tegar sekuat batu karang yang kokoh tak bergeming dilanda ombak yang mengganas. Walaupun ketegaranku cuma pura-pura belaka.

Setelah itu kamu tidak pernah lagi ke perpustakaan, kamu menghilang. Bahkan nomor handphonemu pun tidak aktif. Apakah karena kamu sudah menemukan tambatan hatimu si Raka itu, lantas kamu melupakanku begitu saja? Setidaknya aku hanya ingin kamu anggap sebagai temanmu, karena sudah tidak mungkin lagi aku berharap menjadi cintamu.

***

Sudah dua bulan. Tidak! Persisnya sebulan lebih dua puluh hari sejak aku kehilangan kamu. Namun kenangan kerlingan sepasang mata dan senyum lesung pipitmu begitu menghanyutkanku. Dari bangku perpustakaan inilah selalu kuperhatikan wajahmu nan ayu ketika kita duduk saling berhadapan.

Bibirmu yang begitu ranum dan setengah membuka saat membaca buku. Sepertinya bibir itu baru saja terlepas dari ciuman panjang dan hangat yang belum terpuaskan. Helai-helai rambutmu yang panjang hitam legam lurus terurai bergerak disaput sepoi angin nakal yang muncul dari jendela, sehingga seringkali kamu berusaha untuk menyibaknya kembali ke belakang jika rambut indahmu menyapa nakal permukaan wajahmu yang ayu.

Ketenanganmu membaca buku, gemulai tanganmu yang membolak-balik buku memperlihatkan sifat alami yang tak terbatasi ruang dan waktu. Ah aku sepertinya tidak akan sanggup melupakanmu. Hakikat esensi dirimu yang lembut telah menciptakan rasa pengabdian yang begitu kokoh dalam sisi kejantananku.

Kamu telah terlanjur membuat hatiku terbakar dan meleleh perlahan menyakitkan. Kamu membuat lidahku tak lagi merasa nikmat mengecap rasa makanan yang kata orang-orang begitu lezat. Tahukah kamu aku selalu memikirkan hal yang sama setiap hari setelah kamu menghilang. Apakah kini mungkin bagiku untuk benar-benar berhenti menatapmu?

Mungkinkah aku akan benar-benar melupakanmu? Tapi semuanya itu berlangsung diluar kendaliku. Sebulan lebih dua puluh hari aku selalu mengelilingi perpustakaan ini, begitu seringnya, hingga aku dapat mengenali tata letak semua buku yang ada di rak perpustakaan ini melebihi pengetahuan penjaga perpustakaan ini. Namun terlepas betapa aku telah menunggumu dan mencarimu di perpustakaan ini, semuanya sia-sia belaka. Aku selalu saja kalah.

***

Hari ini seperti biasanya kulewatkan waktu istirahat siangku dengan membaca di perpustakaan. Dari jendela yang terbuka aku dapat menatap hujan yang turun. Dalam cuaca hujan aku merasa bebas dan santai, seolah-olah tetes titik hujan membasuh pikiran-pikiran sedihku.

Akan tetapi, hari ini aku merasa ada suatu perasaan istemewa yang mengendap dalam ceruk mataku masuk menjelajahi pikiranku. Kulihat sosok wanita berpakaian putih, laksana seorang malaikat berjalan menuju arahku. Lantas wanita itu berdiri didepanku. Kudongakkan kepalaku memandangnya. Kerlingan sepasang mata dan senyum lesung pipit itu, tidak mungkin kulupa. Itu kamu. Ya, itu kamu.

Aku tetap duduk. Aku terdiam bagai batu gapura candi, merasa bagaikan seorang yang bermimpi dan tidak ingin bangun dari mimpinya. Aku merasa mendapatkan suatu kepuasan yang tak terungkapkan—seperti seorang anak kecil yang bahagia karena dibelikan kembang gula oleh ibunya.

Kamu mengambil tempat duduk, lalu duduk dihadapanku. Jantungku berhenti berdetak. Kutahan nafasku karena cemas kalau-kalau nafasku akan membuatmu menghilang lagi, minggat dari keberadaanmu, seolah-olah kamu adalah kepulan asap rokok yang biasanya kuhisap nikmat.

”Bagaimana kabar kamu?” tanyamu mengawali pembicaraan.

Wajahmu menunjukkan ekspresi tenang. Tapi matamu seolah menyembunyikan sesuatu.

”Aku baik-baik saja” jawabku.

Keringat dingin membasahi dahiku. Kusapu dengan ujung lengan bajuku.

”Aku tahu kamu selalu berada di perpustakaan ini. Aku hendak memberikan ini kepadamu.”katamu seraya menyodorkan sebuah undangan pertunangan. Tertera namamu dan Raka di bagian depannya. Aku bisa membaca isinya walau aku tidak membukanya.

”Selamat ya…”ucapku menyembunyikan sedih.

Kusodorkan tanganku hendak menyelamati kamu. Tapi kamu menampiknya. Lantas aku hanya terdiam. Aku sungguh tidak mengerti.

”Hugghhh…Ternyata selama ini aku bodoh…”katamu.

”Bodoh?” tanyaku penasaran.

”Ya, aku bodoh, aku mengira kamu mencintaiku.”

Kutundukkan wajahku.

”Kamu tidak bodoh, aku memang mencintaimu.”ujarku lirih hingga seperti sebuah bisikan saja.

Entah mengapa kamu malah menangis terisak.

”Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Kenapa tidak sedari dulu sewaktu kita bertemu.?” ucapmu.

”Aku…a..ku…aku takut kamu tolak.”

”Tahu tidak?! Untuk berkenalan denganmu aku sengaja menaruh buku agendaku di atas meja perpustakaan tempat biasanya kamu membaca buku, tujuanku supaya kamu bisa menemukannya dan mengembalikannya kepadaku. Sudah lama aku melihatmu di perpustakaan ini. Sudah lama aku diam-diam mencintaimu, bahkan sebelum kita berkenalan. Tapi mengapa kamu hanya diam saja, bahkan saat Raka hadir dalam kehidupanku? Wanita itu butuh ketegasan dari laki-laki!”isakmu.

Aku sungguh kaget dengan penuturanmu. Benarkah itu semua? Kalau begitu selama ini aku sungguh bodoh sekali.

”Tapi kini semuanya sudah terlambat. Tidak ada kesempatan lagi untukku.”kataku sambil kutatap undangan darimu.

”Rio…Tidak ada kata terlambat! Betapapun Dewi fortuna adalah sosok perempuan yang berkenan hanya terhadap laki-laki yang berani, punya nyali dan mampu menguasai setiap kesempatan, bukan laki-laki yang hanya diam dan menyerah kalah!”serumu memecah kebimbangan hatiku.

Aku segera tersadar, lantas aku berlutut didepanmu dan meneriakkan gema yel-yel dalam perpustakaan ”Aku cinta padamu Laras, aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap tenang’ yang tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan penjaga perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan suaranya menggelegar seperti petir mengancamku untuk tenang dan diam.

Kamu hanya mendekapku dalam tangisan. Entah mengapa aku sangat bahagia sekali saat kamu membisikkan ”bawalah aku pergi dalam duniamu, dalam kerajaan hatimu…” Ternyata selama ini kita benar-benar berada dalam cinta yang sama. Bukan hanya dalam khayalanku saja.

Kini aku tak tahu darimana harus kumulai kata untuk meminangmu. Memintamu menjadi pendamping hidupku, bukan sekedar pacar. Tapi sebelumnya biarkanlah aku dongengkan perihal kerajaan hatiku kepadamu — dimana rajanya adalah aku dan permaisurinya adalah kamu.

*****Pepatah

Ungkapan perasaan cinta memang bukan hanya sekadar kata, namun cinta dapat pula diungkapkan dengan genggaman tangan yang erat namun lembut, pun tatapan hangat namun tajam setajam isi hati. Tetapi itu bukanlah alasan bahwa kamu boleh memendam perasaan cinta.

Cinta harus diungkapkan dengan perkataan, karena cinta butuh kepastian. Kepastian yang menyatakan isi hati. Ketahuilah, perkataan adalah sosok yang paling mampu untuk mewakili isi hati, karena sedekat apapun kamu dengan seseorang, kamu tidak akan pernah mengetahui isi hatinya.

Berani dan jujurlah dengan perasaanmu. Singkirkan rasa takutmu, karena pada hakekatnya, cinta hanyalah untuk mereka yang berani, bukan mereka yang pengecut, yang hanya bisa memuji dalam hati, mengagumi dalam mimpi.

nyata 2


Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”

“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi
memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.

Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”
***
Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.
=====================================================
Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..

Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan
ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.
Sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah.. aku kangen ayah..
=====================================================
Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..

Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
Ayah Sayang Bunda..
***