Sabtu, 06 Juli 2013

Yes! Vegetarian Bisa Hidup Lebih Lama





Penelitian yang diadakan oleh Loma Linda University di California semakin mengukuhkan, bahwa perihal panjang umur dan hidup lebih lama, vegetarian mengalahkan kaum pemakan daging.
Di dalam kelompok yang berisi 70.000 orang, para peneliti menemukan bahwa mereka yang bergaya hidup vegetarian memiliki 12% kemungkinan kematian lebih rendah ketimbang teman-temannya yang bukan vegetarian. Hal ini merupakan efek dari diet vegetarian yang spesifik. Dalam penelitian yang hasilnya dipublikasikan oleh jurnal JAMA International Medicine ini juga diungkap, kaum vegan juga memiliki risiko kematian lebih rendah ketimbang nonvegetarian.

Rupanya, gaya hidup vegan dan vegetarian sudah sejak lama diduga memiliki efek yang meredam tumbuhnya penyakit kronis, seperti jantung dan diabetes. Meski, bagaimana mekanisme diet yang tepat, masih dalam tahap penelitian. “Kami tidak bisa menjelaskan menu-menu vegetarian mana yang paling akurat untuk menahan dua penyakit itu, namun kemungkinan besar berkat kurangnya atau tidak adanya asupan daging,” ujar Dr. Michael J. Orlich, direktur program di Loma Linda University, seperti dilansir dari TIME.com .

Daging merah memang selama ini menjadi kambing hitam bagi terciptanya berbagai penyakit karena memiliki kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi, sehingga dapat menghambat aliran darah di arteri. Di bulan April lalu, penelitian lain menemukan bahwa kandungancarnitine  yang juga ditemukan di daging merah, akan dicerna oleh bakteri yang ada di dalam usus manusia dan dapat memenuhi pembuluh darah.

Meski banyak pula studi lain yang membuktikan konsumsi daging merah dapat memperpanjang kemungkinan hidup, Orlich mengaku banyak faktor lain yang bisa berperan. “Bisa jadi mengonsumsi sayur bersama daging lah faktor itu. Olah karenanya, kita perlu memperhitungkan level makanan di masa depan, bukan hanya jenisnya saja.”


Yang menarik, dalam studi tersebut juga diungkap bahwa hubungan antara diet vegetarian dan rendahnya tingkat kematian lebih tinggi terjadi para kaum pria. “Kemungkinan ini terjadi karena perbedaan faktor biologis pada pria dan wanita,” pungkas Orlich.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar