Sabtu, 22 Juni 2013

Harus Dari Mana Kumulai Kata





Entah harus dari mana kumulai kata pembuka hatiku. Setiap kali aku bertemu denganmu, aku selalu saja seperti terhipnotis, kamu membuatku lupa akan segalanya. Wajahmu selalu saja hadir dan menimbulkan akan rasa lupa yang membingungkan pada wajah-wajah wanita lain yang pernah kucintai sebelumnya, begitu kuatnya.

Aku tak pernah tahu dari jurusan mana kamu datang. Tiba-tiba kamu hadir begitu saja, membawa keremangan takdirku. Kamu membekap hatiku dalam kebimbangan cinta—tanpa arah, tanpa tujuan pasti, tapi aku suka. Entah kamu anugerah ataukah mungkin malah penderitaanku.

Aku ingat ketika pertama kali mengenalmu. Perpustakaan adalah kata kuncinya. Entah kenapa aku selalu memilih meja dan kursi yang sama demi membaca buku, mungkin karena tata letaknya yang dekat dengan jendela hingga aku bisa merasakan sepoi angin membelaiku. Saat itu kutemukan sebuah buku agenda di atas meja tempat biasanya aku membaca buku-buku perpustakaan. Kubuka lembaran pertama buku agenda itu. Nama dan nomor handphone pemiliknya tertulis jelas pada lembaran pertama. Dari situlah akhirnya aku mengenalmu—kamu adalah pemilik buku agenda itu.

Paling tidak seminggu dua kali kita selalu menyempatkan diri untuk bertemu di perpustakaan, di meja yang sama. Kita selalu membahas bacaan yang sama, sajak yang sama, novel yang sama, filsafat yang sama. Tapi kita tidak pernah membahas tentang cinta yang sama.

Padahal ingin sekali aku mendongengkan tentang cerita kerajaan hatiku padamu. Ingin sekali aku berlutut didepanmu dan meneriakkan yel-yel di perpustakaan ini ”Aku cinta padamu Laras, aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap tenang’ yang tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan penjaga perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan suaranya yang seperti petir menggelegar itu.

Namun mulutku selalu saja terkunci, lidahku kelu. Entah kenapa tubuhku selalu bergetar, menggigil dalam euforia dan ketakutan bercampur baur. Ungkapan hatiku selalu saja terhalang dengan kepengecutanku. Ataukah karena aku takut kamu tolak?

Ataukah karena aku tak berhasrat untuk menyatakan cinta? Karena aku sering merasa seolah-olah jiwaku, dalam dunia kehidupan khayalku, berdekatan sangat erat denganmu, jiwaku dan jiwamu dengan esensi dan substansi yang sama, telah ditakdirkan untuk bersama, dan itu telah cukup bagiku — apakah aku seorang pecinta yang bodoh?

Hari itu di tempat biasa kita bertemu, kamu menyodorkan potret seorang lelaki kepadaku. Ah, hatiku serasa dilandai badai. Dia tampan, katamu. Tapi aku hanya diam membisu kelu tak berbahasa dalam kata. Kutatap potret itu, entah kenapa hatiku sepertinya sedih, tapi disisi lain aku bahagia. Sedih karena teriris perih ngilu pilu disayat sembilu luka cinta. Dan bahagia jika kamu memang telah menemukan kebahagian bersama lelaki pilihanmu.

Kukembalikan potret itu ke dalam tanganmu, kuberikan gurat senyum paksa. Lantas kamu menyimpannya kembali kedalam dompetmu, kusimpan pula lembaran hatiku jauh dalam almari angan-angan.

”Gimana tampan kan?” tanyamu lagi. Rupanya kamu seorang gadis yang butuh penegasan. Aku hanya menjawab dengan anggukan setengah terpaksa saja.

”Namanya Raka. Kemarin dia menyatakan cintanya kepadaku. Dan aku menerimanya.”ucapmu.

”Hmmm…bagus itu.”komentarku datar. Bibirku tersungging meski hatiku tersinggung pedih sakit. Tapi aku tidak boleh kelihatan sedih didepanmu. Aku harus tegar sekuat batu karang yang kokoh tak bergeming dilanda ombak yang mengganas. Walaupun ketegaranku cuma pura-pura belaka.

Setelah itu kamu tidak pernah lagi ke perpustakaan, kamu menghilang. Bahkan nomor handphonemu pun tidak aktif. Apakah karena kamu sudah menemukan tambatan hatimu si Raka itu, lantas kamu melupakanku begitu saja? Setidaknya aku hanya ingin kamu anggap sebagai temanmu, karena sudah tidak mungkin lagi aku berharap menjadi cintamu.

***

Sudah dua bulan. Tidak! Persisnya sebulan lebih dua puluh hari sejak aku kehilangan kamu. Namun kenangan kerlingan sepasang mata dan senyum lesung pipitmu begitu menghanyutkanku. Dari bangku perpustakaan inilah selalu kuperhatikan wajahmu nan ayu ketika kita duduk saling berhadapan.

Bibirmu yang begitu ranum dan setengah membuka saat membaca buku. Sepertinya bibir itu baru saja terlepas dari ciuman panjang dan hangat yang belum terpuaskan. Helai-helai rambutmu yang panjang hitam legam lurus terurai bergerak disaput sepoi angin nakal yang muncul dari jendela, sehingga seringkali kamu berusaha untuk menyibaknya kembali ke belakang jika rambut indahmu menyapa nakal permukaan wajahmu yang ayu.

Ketenanganmu membaca buku, gemulai tanganmu yang membolak-balik buku memperlihatkan sifat alami yang tak terbatasi ruang dan waktu. Ah aku sepertinya tidak akan sanggup melupakanmu. Hakikat esensi dirimu yang lembut telah menciptakan rasa pengabdian yang begitu kokoh dalam sisi kejantananku.

Kamu telah terlanjur membuat hatiku terbakar dan meleleh perlahan menyakitkan. Kamu membuat lidahku tak lagi merasa nikmat mengecap rasa makanan yang kata orang-orang begitu lezat. Tahukah kamu aku selalu memikirkan hal yang sama setiap hari setelah kamu menghilang. Apakah kini mungkin bagiku untuk benar-benar berhenti menatapmu?

Mungkinkah aku akan benar-benar melupakanmu? Tapi semuanya itu berlangsung diluar kendaliku. Sebulan lebih dua puluh hari aku selalu mengelilingi perpustakaan ini, begitu seringnya, hingga aku dapat mengenali tata letak semua buku yang ada di rak perpustakaan ini melebihi pengetahuan penjaga perpustakaan ini. Namun terlepas betapa aku telah menunggumu dan mencarimu di perpustakaan ini, semuanya sia-sia belaka. Aku selalu saja kalah.

***

Hari ini seperti biasanya kulewatkan waktu istirahat siangku dengan membaca di perpustakaan. Dari jendela yang terbuka aku dapat menatap hujan yang turun. Dalam cuaca hujan aku merasa bebas dan santai, seolah-olah tetes titik hujan membasuh pikiran-pikiran sedihku.

Akan tetapi, hari ini aku merasa ada suatu perasaan istemewa yang mengendap dalam ceruk mataku masuk menjelajahi pikiranku. Kulihat sosok wanita berpakaian putih, laksana seorang malaikat berjalan menuju arahku. Lantas wanita itu berdiri didepanku. Kudongakkan kepalaku memandangnya. Kerlingan sepasang mata dan senyum lesung pipit itu, tidak mungkin kulupa. Itu kamu. Ya, itu kamu.

Aku tetap duduk. Aku terdiam bagai batu gapura candi, merasa bagaikan seorang yang bermimpi dan tidak ingin bangun dari mimpinya. Aku merasa mendapatkan suatu kepuasan yang tak terungkapkan—seperti seorang anak kecil yang bahagia karena dibelikan kembang gula oleh ibunya.

Kamu mengambil tempat duduk, lalu duduk dihadapanku. Jantungku berhenti berdetak. Kutahan nafasku karena cemas kalau-kalau nafasku akan membuatmu menghilang lagi, minggat dari keberadaanmu, seolah-olah kamu adalah kepulan asap rokok yang biasanya kuhisap nikmat.

”Bagaimana kabar kamu?” tanyamu mengawali pembicaraan.

Wajahmu menunjukkan ekspresi tenang. Tapi matamu seolah menyembunyikan sesuatu.

”Aku baik-baik saja” jawabku.

Keringat dingin membasahi dahiku. Kusapu dengan ujung lengan bajuku.

”Aku tahu kamu selalu berada di perpustakaan ini. Aku hendak memberikan ini kepadamu.”katamu seraya menyodorkan sebuah undangan pertunangan. Tertera namamu dan Raka di bagian depannya. Aku bisa membaca isinya walau aku tidak membukanya.

”Selamat ya…”ucapku menyembunyikan sedih.

Kusodorkan tanganku hendak menyelamati kamu. Tapi kamu menampiknya. Lantas aku hanya terdiam. Aku sungguh tidak mengerti.

”Hugghhh…Ternyata selama ini aku bodoh…”katamu.

”Bodoh?” tanyaku penasaran.

”Ya, aku bodoh, aku mengira kamu mencintaiku.”

Kutundukkan wajahku.

”Kamu tidak bodoh, aku memang mencintaimu.”ujarku lirih hingga seperti sebuah bisikan saja.

Entah mengapa kamu malah menangis terisak.

”Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Kenapa tidak sedari dulu sewaktu kita bertemu.?” ucapmu.

”Aku…a..ku…aku takut kamu tolak.”

”Tahu tidak?! Untuk berkenalan denganmu aku sengaja menaruh buku agendaku di atas meja perpustakaan tempat biasanya kamu membaca buku, tujuanku supaya kamu bisa menemukannya dan mengembalikannya kepadaku. Sudah lama aku melihatmu di perpustakaan ini. Sudah lama aku diam-diam mencintaimu, bahkan sebelum kita berkenalan. Tapi mengapa kamu hanya diam saja, bahkan saat Raka hadir dalam kehidupanku? Wanita itu butuh ketegasan dari laki-laki!”isakmu.

Aku sungguh kaget dengan penuturanmu. Benarkah itu semua? Kalau begitu selama ini aku sungguh bodoh sekali.

”Tapi kini semuanya sudah terlambat. Tidak ada kesempatan lagi untukku.”kataku sambil kutatap undangan darimu.

”Rio…Tidak ada kata terlambat! Betapapun Dewi fortuna adalah sosok perempuan yang berkenan hanya terhadap laki-laki yang berani, punya nyali dan mampu menguasai setiap kesempatan, bukan laki-laki yang hanya diam dan menyerah kalah!”serumu memecah kebimbangan hatiku.

Aku segera tersadar, lantas aku berlutut didepanmu dan meneriakkan gema yel-yel dalam perpustakaan ”Aku cinta padamu Laras, aku sayang padamu Laras….”, tanpa peduli dengan tulisan ’harap tenang’ yang tertempel disetiap sudut temboknya, tanpa peduli pada amukan penjaga perpustakaan yang matanya melotot seperti penjagal berdarah dingin dan suaranya menggelegar seperti petir mengancamku untuk tenang dan diam.

Kamu hanya mendekapku dalam tangisan. Entah mengapa aku sangat bahagia sekali saat kamu membisikkan ”bawalah aku pergi dalam duniamu, dalam kerajaan hatimu…” Ternyata selama ini kita benar-benar berada dalam cinta yang sama. Bukan hanya dalam khayalanku saja.

Kini aku tak tahu darimana harus kumulai kata untuk meminangmu. Memintamu menjadi pendamping hidupku, bukan sekedar pacar. Tapi sebelumnya biarkanlah aku dongengkan perihal kerajaan hatiku kepadamu — dimana rajanya adalah aku dan permaisurinya adalah kamu.

*****Pepatah

Ungkapan perasaan cinta memang bukan hanya sekadar kata, namun cinta dapat pula diungkapkan dengan genggaman tangan yang erat namun lembut, pun tatapan hangat namun tajam setajam isi hati. Tetapi itu bukanlah alasan bahwa kamu boleh memendam perasaan cinta.

Cinta harus diungkapkan dengan perkataan, karena cinta butuh kepastian. Kepastian yang menyatakan isi hati. Ketahuilah, perkataan adalah sosok yang paling mampu untuk mewakili isi hati, karena sedekat apapun kamu dengan seseorang, kamu tidak akan pernah mengetahui isi hatinya.

Berani dan jujurlah dengan perasaanmu. Singkirkan rasa takutmu, karena pada hakekatnya, cinta hanyalah untuk mereka yang berani, bukan mereka yang pengecut, yang hanya bisa memuji dalam hati, mengagumi dalam mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar